Oleh : Muhammad Arif Bina
Takdir manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial mengharuskan adanya sinergitas antara manusia satu dan manusia lain dengan tidak memandang perbedaan warna kulit, suku, agama ras dan gender.
Meskipun perbedaan tersebut termasuk gender adalah sebuah keniscayaan dan menjadikan manusia berbeda dalam peran dan fungsi, tapi sejatinya hal tersebut bersifat komplementer. Dalam hal gender, misalnya, perempuan dan laki-laki dikontruksi memiliki peran dan fungsi berbeda yang kemudian dikenal sebagai peran-peran gender.
Pembagian peran ini dianggap sebagai suatu yang alamiah yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan dianggap sebagai kodrat tuhan.
Berdasarkan pembagian peran ini laki-laki sering kali ditempatkan dalam peran-peran di wilayah publik dan perempuan cenderung diberi peran dalam wilayah domestik.
Pembagian peran ini juga oleh sebagian masyarakat dijadikan tolak ukur baik buruknya laki-laki dan perempuan sejauh mana mereka mampu menempatkan diri dalam melaksanakan peran-peran yang tersebut.
Bukan tanpa masalah, peran dan perbedaan gender ini menimbulkan masalah ketidakadilan gender terhadap salah satu jenis kelamin. Mirisnya, korban dari ketidakadilan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan.
Ketidakadilan ini menjadikan kaum perempuan termarginalisasi sehingga cenderung adanya batasan bagi kaum perempuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan politik.
Secara tidak langsung, kondisi semacam ini menjadikan kualitas perempuan dari segi kemampuan dan pengalaman lebih rendah dari pada laki-laki karena adanya ‘pengkerdilan sistematis terhadap potensi perempuan ini.
Kejadian semacam ini juga menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan bukan lagi hubungan yang komplementer, melainkan sudah bersifat asimetris yang kemudian mewujud dalam sistem dan struktur masyarakat sebagai akibat dari nilai-nilai patriarkis yang dianut.
Akibat panjang dari bentuk ketidakadilan gender ini adalah terciptanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan sehingga dalam kehidupan sosial masyarakat cenderung mengutamakan laki-laki dibanding perempuan.
Dalam kehidupan sosial laki-laki dipersiapkan dan diserahi tugas dan tanggung jawab dalam wilayah publik yang menentukan proses sosial politik suatu negara. Sementara itu perempuan dikontruksi untuk menjalankan tugas-tugas domestik dan reproduktif sebagai tugas hidupnya.
Akibatnya, dalam proses sosial politik laki-laki mendapat posisi yang dominan dan menjadikan perempuan tetap pada wilayah yang sudah ditentukan.
Tindakan Afirmatif
Tindakan afirmatif atau affirmative action pertama kali muncul pada massa pemerintahan Jhon F. Kennedy di Amerika serikat. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menghapus atau menghilangkan pandangan negatif atas perbedaan ras, bangsa dan agama bahkan hingga memunculkan gerakan anti diskrimanis terhadap jenis kelamin.
Di Indonesia sendiri, istilah ini menjadi sangat populer seiring disahkannya Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik. Dalam Undang-undang tersebut keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai dan keterwakilan dari kalangan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif ditetapkan sebanyak 30℅ dari seluruh calon anggota DPR dan DPRD.
Tindakan afirmatif ini merupakan langkah yang paling banyak dipilih untuk mengatasi masalah diskriminasi, ketidaksetaraan dan marginalisasi di segala lini kehidupan akibat struktur dan sistem patriarki yang diyakini dan berlaku dalam kehidupan sosial.
Dengan bahasa lain, kemunculan tindakan afirasi ini merupakan respon terhadap adanya pemisahan dan tindakan diskrimansi yang melembaga dalam struktur sosial masyarakat sekaligus pemberian kesempatan pada kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia.
Meskipun diberikan kuota 30℅ dalam pencalonan anggota legislatif bukan perempuan disediakan kuota 30% dari jumlah kursi di parlemen atau dalam artian, kuota 30% ini hanya berlaku untuk pencalonan bukan dengan kuota kursi di parlemen. Untuk dapat melenggang ke parlemen perempuan juga diharuskan berkompetisi memperebutkan suara dalam Pemilu.
Meskipun masih menjadi perdebatan oleh sejumlah kalangan, namun adanya kebijakan tindakan afirmatif ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan untuk turut andil dalam pengambilan kebijakan sosial-politik terlebih dalam memperjuangkan hak-hak perempuan itu sendiri.
Keterlibatan Perempuan Dalam Perhelatan Politik Gorontalo
Hadirnya kebijakan afirmatif ini memunculkan semanbat baru bagi kaum perempuan untuk terjun ke ranah politik. Tidak terkecuali di Gorontalo. Kehadiran politisi perempuan di gorontalo juga sangat signifikan.
Ini terbukti dengan munculnya politisi perempuan yang melaju ke parlemen, sebut saja Rahmijati Jahja, Ida Syaidah Rusli Habibie dan Dewi Sartika Hemeto.
Keberhasilan tokoh perempuan dalam Gorontalo dalam kontestasi politik lokal ini menunjukan peningkatan kepercayaan rakyat Gorontalo terhadap kaum perempuan.
Kepercayaan ini tentu saja tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Keberhasilan tokoh-tokoh perempuan ini pastinya juga didukung dengan segudang prestasi yang membuat masyarakat tidak ragu dalam menitipkan aspirasi mereka kepada sosok perempuan.
Terbukti, Pemilu 2019 kemarin Idah Syaidah Rusli Habibie sebagai calon Anggota DPR-RI mendapatkan posisi kedua dari tiga anggota DPR-RI yang mewakili Gorontalo dengan perolehan suara 2019 98.795 suara. Jumlah ini mampu menggeser posisi Elnino M. Husain Mohi yang kembali mencalonkan dirinya untuk yang ketiga kali dengan perolehan suara2019 67.515 dan bertengger pada posisi ke tiga.
Dalam pemilihan DPD RI, dua perwakilan perempuan Gorontalo yakni Rahmijati Jahja dengan perolehan 75.446 suara dan Dewi Sartika Hemeto menapatkan 70.248 suara dan berhasil menempati posisi ke dua dan keempat peraih suara terbanyak dari total 4 calon yang berhasil lolos ke DPD-RI. Keduanya berhasil mengungguli calon laki-laki lain yang juga berkompetisi dalam pemilhan anggota DPD-RI.
Melihat fakta ini bukan tidak mungkin bahwa dalam perhelatan pemilihan Gubernur nanti tokoh-tokoh perempuan ini akan turut andil dan berpotensi untuk menduduki kursi Gorontalo 1 dan akan menjadi sejarah pertama selama berdirinya provinsi Gorontalo akan di pimpin oleh sosok perempuan.